Setelah kurapikan kamar tidurku siang ini. sekali lagi aku mendengar ibu kos berteriak berbicara dengan anaknya. Aku sebagai perantau di Kota Makassar, sangat cukup terganggu dengan budaya bicara disini yang selalu menggunakan intonasi tinggi. Ramadan ke-4 jauh dari rumah dan batal mudik. Sebuah derita bagiku. Nasi liwet bikinan ibu, terbayang-bayang dalam tidurku. Tidur gelisah namun pekerjaan memaksaku tetap fokus, on track. Hari ini Makassar terik, orang-orang tetap beraktifitas seperti biasa. Masker hanya dipakai bagi mereka yang 'sadar' akan pola kerja droplet dan bagaimana Covid-19 itu bisa tersebar.
Aku menunggu jemputan bis kantor. Meski aku menyayangkan Covid-19 masuk Indonesia dan belum menandakan penurunan grafik sampai Ramadan tiba, aku bersyukur. melihat orang-orang sekitarku yang lebih hygiene dalam bersikap. Kami tak perlu bersalaman cukup memainkan intonasi dalam berdiskusi dan menanggapi komentar, perokok aktif tidak sembarangan merokok, catering kantor pun juga lebih teratur.
“Selamat pagi pak Andri” sapa ku sambil naik ke dalam bus.
“Pagi mbak Bitak” sahut pak Andri. Aku senang di kota yang penuh tambang ini, masih ada yang memanggilku dengan sebutan ‘mbak” khas orang jawa. Pak Andri juga asli Bugis, katanya dulu pernah merantau di Jawa 10 tahun. Begitu tahu aku dari Jawa, dia terbuka sekali menceritakan suka duka mencari rupiah di tanah jawa, bertemu istri orang Pati dan cerita bagaimana memboyong 5 anaknya ke Mamajang. Kecamatan sebelah. Aku memilih tempat kos yang sekecamatan dengan kantor agar bisa memotong jam transportasi. Sebagai pekerja baru yang masih single, sering kali memaksa diri untuk kerja lintas daerah. Aku paham itu, jadi lebih memilih ambil jarak kos yang dekat agar kalau mendesak harus outing, cepat berkemas.
Aku memilih tempat duduk dekat dari jendela, kebetulan kosong satu baris. Dulu, menatap jendela saat di perjalanan membuatku pusing. Terlalu banyak warna yang harus diterjemahkan mataku. Tapi sejak menjadi perantau Sulawesi, aku jadi suka memandang jendela mobil. Hijaunya hutan, birunya langit mendominasi kaca jendela. Membawaku nostalgia masa SD. Arcamanik yang jauh dari polusi. Bandung yang dingin dan ramah.
Seperti biasa, sesampainya di kantor. Aku dan teman-teman melakukan apel pagi. Menyamakan misi untuk menyelesaikan tugas. Jargon dibunyikan lantang, pertanda apel pagi akan ditutup.
“Bit, kudengar kamu akan outing kantor pekan depan” ucap Amel seusai bubar barisan.
“Apa? Bukannya per 15 April. Outing ditiadakan karena lockdown bandara Mel ? tanyaku tak percaya.
“Enggak Bit. Surat kerja sudah turun. Bandara menerima surat kerja bagi PNS yang akan bepergian, terlebih ke Jawa. Semoga dinasmu aman dan bisa sekalian lebaran di rumah” jawabnya.
“Impossible Mel. Yuk, lah masuk ruang panas. Kita buktikan apakah surat itu rilis atau tidak”
“Kalo rilis, siapin laporanku ya Bit!”
“Never” sahutku. Kami cukup dekat karena beberapa kali mendapat tugas yang sama. Tapi aku menjaga diri untuk waspada. Aku susah percaya dengan obrolan orang-orang di kantor diluar beban kerja. Disini susah menemukan orang yang tulus membantu. Semua bagai musang.
Nyatanya, surat dinas keluar. Aku ditugaskan mengurus proper perusahaan. rapat seminggu di Jakarta. Aku terlalu berangan-angan menikmati nasi liwet ibu. Hari ke empat kami rapat, 5 dari 24 peserta rapat dinyatakan positif Covid-19. Aku menelepon orang rumah dan konfirmasi kantor Makassar tentang kondisiku. Tentu, aku diisolasi. Rapat ditunda, mungkin dalam waktu dekat akan diadakan rapat daring. Data hasil 3 hari rapat belum aku update di drive subdit. Diisolasi dengan kondisi ini semakin memperpuruk kondisi. Tidak bisa akses wifi, laptop yang terbatas jam pemakaian karena ada jam charging. Semua malah kacau balau. Yang bisa kulakukan hanyalah menerima keadaan. Legowo atas segala takdir Nya. Indonesia jangan terserah, Ayo bersatu.
#BERSEMADI
#HariKe-19
#DiRumahAja
#FLPSurabaya
#InspirasiRamadan
Komentar
Posting Komentar